Kamis, 08 Februari 2018

Aku, Antrian Tak Terhinggamu



Aku benci hujan, sekarang
Karena kau
Percayalah, aku tak bercanda perihal membenci
Nyatanya memang seperti ini
Kau menciptakan ruang hampa
Yang tak kutemukan ujungnya
Tak kulihat sisinya
Ingin kupotong sisinya, kulipat ujungnya
Agar kau tak lagi kokoh disana
Melihatku yang bernyanyi dimalam hari
Sengaja, untuk membunuh sepi yang sewaktu-waktu merusakku

inilah jadinya
jika lorong rindumu hanya ditemukan olehmu juga
Bahkan yang kau rindukan pun tak mengerti
Apa itu rindu
Mengejanya saja dia terbata-bata
Lintasan pikirannya pun tersekat oleh nalarnya
Sudahlah, kau tak sedang ada dalam lintasan itu

Hujan malam ini rupanya ingin berlama-lama memeluk bumi
Ini salah daun, selalu tau cara mendoakan hujan agar turun lama
Orang pikir aku mencintai hujan
Karena payung tak kubutuhkan saat berjalan dibawahnya
Mereka salah, benar-benar salah
Nyatanya, hujan dan aku memilik jarak layaknya sebenang waktu
Yang tak ditemui denting akhirnya

Aku ingin mengantri
Disela-sela nalarmu yang menolak datangku
Disela-sela rusukmu yang membungkam diamku
Disela-sela doamu yang tak sebaris pun terselip namaku
Dan disela lembar bukumu yang penuh cakaran soal matematika

Akankah antrian terakhir
Berakhir menjadi akhir?
Yang tak disinggahi-lagi
Yang tak diabaikan-lagi
Jika ya
 Tak apa waktu memakan usia
Tak apa jarak merusak suasana hati
Tak apa takdir memusnahkan ruang pikirku
Yang terpenting
Aku,
Antrian terakhirmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mendamaikan Ego Bersama

Sial, aku kalah Kau direnggut amat dalam oleh malam Oleh egoku dan egomu Kita kalah oleh rindu kita Kau menyerah, dan aku ditin...